BERSYUKUR MENJADI ORANG RIFA’IYAH
Siapa Orang Rifa’iyah itu?
Kalau kalian ditanya apakah kalian orang Rifa’iyah? Pasti sebagian besar, atau bahkan semuanya membenarkan pertanyaannya. Pengakuan itu sudah otomatis muncul di benak yang dilahirkan dari mulut. Menjadi orang Rifa’iyah sepertinya sudah menjadi kesadaran bersama. Bahkan kesadaran itu meresap ke bawah sadar.
Kalau pertanyaan diteruskan, faktor apa yang menyebabkan kita menjadi orang Rifa’iyah? Tentu serentak akan menjawab, karena faktor keturunan, sehingga sudah otomatis menjadi orang Rifa’iyah. Secara koor kita mengakui bahwa penentu tunggal silsilah keturunan manusia hanya Allah Swt. Setiap orang tak sedikitpun punya hak usulan, siapa Bapak-Ibunya, kakek-neneknya, bahkan lahir dimanapun kita tidak punya peran sedikitpun untuk menentukan, semuanya merupakan hak prerogatif Tuhan. Maka yang menjadikan kita sebagai orang Rifa’iyah itu hanya Allah semata.
Kalau menjadi orang Rifaiyah merupakan Qadla Qadar Allah maka sebaiknya kita yakin, mengimani bahwa:
1. Menjadi orang Rifa’iyah merupakan jalan yang terbaik pilihan Allah Swt. Ikhlas menjalaninya merupakan aplikasi dari rukun iman yang keenam.
2. Kita tidak punya pilihan lain, kecuali menerima dan ridlo terhadap ketentuan dan ketetapan Allah yang telah menjadikan kita sebagai orang Rifa’iyah. Sebagaimana sandaran kita hadist Qudsi yang juga dikutip oleh KH. Ahmad Rifa’i dalam kitab Riayat al-Himmah
وَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : مَنْ لَمْ يَرْضَ بِقَضَائِيْ وَلَمْ يَصْبِرْ عَلَى بَلَائِيْ وَلَمْ يَشْكُرْ عَلَى نَعْمَائِيْ فَلْيَخْرُج تَحْتَ السَمَائِيْ وَلْيَطْلُبْ رَبًّا سِوَائِيْ
Nabi SAW bersabda: “Barangsiapa yang tidak ridho dengan keputusanKu, tidak sabar dengan ujianKu dan tidak mensyukuri nikmat-nikmatKu. Maka hendaklah ia keluar dari kolong langitku. Dan hendaklah ia mencari Tuhan selain Aku”.
Berikutnya kita akan mendaftari beberapa hal yang patut kita syukuri apa saja yang dialami oleh Orang Rifa’iyah dan juga apasa saja kelebihannya sebagai ajaran dan sebagai budaya.
A. Mudah dan Indah dalam Memahami Agama
Guru kita KH. Ahmad Rifa’i yang lahir pada 9 Muharam 1200 H di Desa Tempuran Kendal telah berkarya menulis sekitar 65 judul kitab dan ratusan Tanbih dengan memakai bahasa Jawa (bahasa kaumnya) yang sebagian besar berbentuk syair. Diantara tujuannya agar anak muridnya dengan mudah memahami ajaran agama Islam. Alhamdulillah, pada kenyataannya memang sebagian warga Rifaiyah memahami perihal sah iman sah ibadah.
Menurut Dr. Karel A Steenbrink dalam bukunya Beberapa Aspek tentang Islam abad 19 mengatakan: “KH. Ahmad Rifa’i merupakan satu-satunya orang yang mampu mengemukakan Islam dengan bahasa sederhana tanpa memakai idiomatik arab. Dan sebagai ulama beliau merupakan seorang yang sangat produktif dalam mengarang kitab.”
· Rasa syukur kita bisa kita nyatakan dalam mengkaji, mengamalkan, mensyiarkan isi kitab beliau
· Rasa syukur kita juga bisa kita aplikasikan dengan cara meneladani beliau. Beliau seorang pembaca, penulis, pencari dan penyebar ilmu yang tangguh. Sudahkah kita meneladaninya?
Adakah usaha, wahana bagi organisasi Rifa’iyah dalam mengembangkan keteladanan melek baca tulis (literasi) ini?
Selain mudah, bentuk tulisan syair merupakan keindahan bagi pelantun pendengarnya. Karena orang cenderung menikmati saat melantunkannya, apalagi didendangkan secara bersama-sama. Sehingga dengan berdendang, tanpa terasa orang dengan sendirinya menghafal ajaran-ajaran agama. Maka tak salah kalau pakar pendidikan mengatakan hal itu sebagai metode hafal tanpa menghafal. Cukup bernyanyi kamu tiba-tiba hafal.
Metode syair ini masih tetap eksis bahkan semakin digemari dalam dunia pendidikan, terutama pada metode pembelajaran. Kita bisa menyaksikan metode membaca kitab kuning ala Amtsilati -yang ditulis oleh KH. Taufiqul Hakim dari Bangsri Jepara, yang semua kitabnya menggunakan metode syiiran.
Sekarang berkembang puluhan kitab lainnya fan keilmuwan selain nahwu sharaf dengan metode yang sama.
Kenapa metode syiiran bertahan sampai ribuan tahun? Menurut keyakinan saya, karena metode ini mencontoh metodenya Allah dalam al-Qur’an. Metode dan ilmu Allah tidak akan pernah punah.
Bahkan syair-syair kitab Tarajumah sekarang diaransemen dengan genre berbagai macam jenis musik, hingga sampai genre musik gamelan. Sementara kita selaku muridnya yang dimudahkan, diindahkan oleh Beliau, sudahkah kita bersyukur dengan memilih aktivitas nguri-nguri kabudayan syiiran? Dan menjaga ajarannya yang ada dalam kitab Tarajumah?
B. Metode Pendidikan Masa Depan
Lembaga pendidikan yang menggunakan metode ala barat, sangat berbeda dengan metode ala Rifa’iyah yang identik dengan Islam.
Berdasarkan sejarah bahwa lembaga pendidikan di Indonesia sering dikenal dengan pesantren dan sekolah. Pesantren merupakan pendidikan warisan Walisongo, dan sekolah berasal dari Belanda.
Sekolah merupakan produk pendidikan ala barat (Belanda), yang kemudian diadopsi oleh KH. Ahmad Dahlan, -pendiri Muhammadiyah- untuk ‘diislamkan’ sehingga dengan wadah sekolah diisi dengan ilmu-ilmu Islam. Madrasah Muallimin di Yogyakarta merupakan pendidikan ala barat yang telah diislamkan tersebut.
Sudah mejadi strategi dakwah umat Islam Nusantara sejak jamannya Walisongo, selalu mengapresiasi budaya yang sudah ada tetapi tetap mengarahkan substansi budaya menjadi Islam. Termasuk sekolah sebagai produk budaya belanda yang ‘diruwat’ menjadi Islami.
Sebagai contoh Menara pada awalnya merupakan budaya umat beragama majusi (zoroaster) penyembah api. Menara dari kata manarun artinya tempat perapian. Tapi kemudian diadopsi dijadikan bangunan yang menyertai masjid, dan fungsinya dirubah, sudah bukan tempat perapian lagi, tapi barangkali sekarang menjadi tempat pengeras suara.
Sebagaimana di gambarkan dalam film Sang Pencerah, -film besutan Hanung Bramantyo- pada awalnya orang-orang Islam alergi terhadap pendidikan sekolah yang digulirkan oleh KH. Ahmad Dahlan, tetapi ternyata sekarang banyak orang mengikutinya, karena perubahan yang terjadi tersebut.
Kita bisa bertanya kira-kira dimana perbedaan pendidikan ala Barat dengan pendidikan ala Rifa’iyah? Pertama perbedaannya di konsep ilmu.
Kita perlu mundur sejenak agar bisa membedakan konsep ilmu dan tujuan pendidikannya KH. Ahmad Rifa’i dengan konsep dan tujuan pendidikan ‘barat’.
Pertama konsep ilmunya KH. Ahmad Rifa’i kita kenal sebagai:
اَلْعِلْمُ اِدْرَكُ الشَّئِ بِحَقِيْقَتِهِ
Utawi artine ilmu kelawan sabener tingal atine
Iku anemu ing sawiji-wiji kahanan kelawan satemene
Lan weruh maleh atine ing kamaqsudane
Ora selaya dene tingkah tinamune
“Yang dinamakan ilmu adalah sebenar-benarnya penglihatan hati. Untuk menemukan sesuatu keadaan sesungguhnya. Dan mengetahui juga hatinya dengan maksudnya (sesuatu itu). (kemudian) Tidak menyelisihi hal yang telah ditemukannya (tadi).”
Dalam bahasa sederhananya bahwa yang dinamakan ilmu itu mengetahui sesuatu sampai pada hakekatnya. Tidak sebatas itu. Dalam konsep beliau terdapat konsep Ilmu Nafi’ (ilmu yang bermanfaat). Percuma mencari ilmu, kalau tidak bermanfaat, karena akan menjadi beban berat bagi pelakunya di dunia dan akherat. Bahkan secara terang terangan dalam QS. As shaf: 2-3 Allah menegaskan kebenciannya kepada orang yang tidak mengamalkan apa yang sudah diketahui dan dikatakannya.
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا لِمَ تَقُوْلُوْنَ مَا لَا تَفْعَلُوْنَ كَبُرَ مَقْتًا عِنْدَ اللّٰهِ اَنْ تَقُوْلُوْا مَا لَا تَفْعَلُوْنَ
“Wahai orang-orang yang beriman! Mengapa kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan? (Itu) sangatlah dibenci di sisi Allah jika kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan.”
Mari kita perhatikan tulisan KH. Ahmad Rifa’i tentang konsep ilmu bermanfaat di dalam kitabnya Irsyad:
اَلْعِلْمُ النَّافِع يَزِيْدُ فِىْ خَوْفِكَ مِنَ اللهِ
Utawi ilmu manfaat wuwuh wedinira ing siksane
Netepi wajib ngedohi haram wedi dosane
Atawa wedi ing Allah luwih gunge kuasane
Ikulah wedine para Nabi ing Allah tinamune
Ikulah kelakuane wong duwe ilmu manfaat
Sabab pada weruh ing parnata gawe ibadah
Condonge ati ghalabah kerana akherat
Mengo saking pengalapan dunya laku ma’siat
“(tanda) ilmu bermanfaat itu (ketika) bertambah khawatirnya (seseorang) terhadap siksa. (sehingga ia) menunaikan kewajiban dan menjauhi (perbuatan) haram (karena) takut dosa. Atau takut akan keagungan kekuasaan Allah. Itulah takutnya para Nabi kepada Allah, hal tersebut merupakan perilaku orang yang ilmunya bermanfaat, sebab (mereka) tahu pranata mengabdi (kepada Allah). Kecenderungan hati mengutamakan akherat. Mengelak dari memanfaatkan dunia (untuk) laku ma’siat.”
Dalam bahasa sederhananya bahwa hamba yang mampu memanfaatkan ilmunya bisa ditandai dengan kekhawatiran kedzalimannya dihadapan Tuhan. Serta karena keagungan-Nya ia merasa lemah, fakir, kecil, penuh dosa di hadapan Tuhan hingga muncul perasaan “harap-harap cemas” (khauf waraja). Ketika dalam derajat demikian, seorang hamba akan mendekat kepada Allah. Sebagaimana kutipan KH. Ahmad Rifa’i didalam kitab Riayatul Himmah
مَنْ ازْدَادَ عِلْمًا وَلَمْ يَزْدَدْ هُدًى لَمْ يَزْدَدْ مِنَ اللهِ إِلاَّ بُعْدًا
“Barang siapa ilmunya bertambah, namun tidak dibarengi dengan bertambahnya petunjuk (ketakwaan), maka ia semakin jauh dari Allah.”
Sekarang kita bertanya bagaimana dengan konsep ilmu modern? Mengutip definisi ilmu modern dari Kamus Besar Bahasa Indonesia mengutarakan bahwa Ilmu ialah pengetahuan tentang suatu bidang yang disusun dengan secara sistematis menurut metode ilmiah yang bisa digunakan untuk menjelaskan dan menerangkan suatu kondisi tertentu dalam bidang pengetahuan.
Dalam definisi ilmu tersebut, tidak sedikitpun disinggung kaitan ilmu dengan ketaatan kepada Allah, kalau dalam konsep pendidikan Islam Ilmu dan taqwa ibarat dua sisi mata uang yang tidak dapat dipisahkan. Karena berilmu menuntut harus mengamalkannya. Tidak mengamalkan ilmu beresiko tidak taqwa, bahkan dibenci oleh Allah.
Sedangkan ilmu di barat sebatas ilmu yang tujuannya untuk pencapaian duniawiyah, kemanfaatan ukhrowiyahnya kurang diperhatikan. Hal ini bisa kita lihat bagaimana perndidikan yang diselenggarakan di kampus-kampus yang tidak mengenal kata ta’zir bagi para mahasiswa yang melanggar syariat, atau mereka yang tidak mau memanfaatkan ilmunya tersebut.
Anis Baswedan ketika menjadi menteri pendidikan mempelopori perubahan kurikulum pendidikan nasional dari KTSP menuju kurikulum 2013 diantara tujuanya adalah memperhatikah perkembangan akhlak dan ketakwaan siswa, dengan memasukkan penilaian sikap sosial dan sikap spiritual. Hal ini sejalan dengan konsep ilmu nafi’nya KH. Ahmad Rifa’i.
Yang menjadi kabar baik bagi umat Islam indonesia, alhamdulillah mereka telah berhasil mengolaborasikan antara pendidikan ala Barat dan Islam. Antara pesantren dan sekolah bisa hidup bersama bersanding, bahkan sekolah-sekolah, dan kampus-kampus sekarang berbondong-bondong untuk mendirikan asrama layaknya pesantren, dengan tujuan terbinanya akhlak dan ketaatan anak didik selama 24 jam.
C. Batik Rifa’iyah Batik Peradaban
Menurut Seniman Batik Pekalongan Muhammad Sapuan, bahwa batik berdasarkan tujuannya dibedakan menjadi tiga kategori:
a. Batik Batok
Batok kelapa dulu seringkali dibawa oleh para pengemis untuk wadah mencari uang. Sehingga maksud dari batik batok adalah batik yang tujuannya untuk mencari keuntungan materi semata.
b. Batik Batuk
Batuk kepala dijadikan simbol berfikir, artinya banyak batik yang dikaji dengan berbagai pendekatan ilmu yang mengandalkan akal. Juga batik sebagai simbol identitas tertentu juga masuk dalam kategori batik batuk ini.
c. Batik Batin
Maksud dari batik batin adalah batik dijadikan wasilah laku hidup untuk memperbaiki keadaan batin seseorang. Membatik bukan sekedar bertujuan mendapatkan keuntungan materi, tetapi keuntungan mendidik hatinya, sehingga lebih sabar, syukur, ridlo, ikhlas, mujahadah, istiqomah, tlaten, teberen, unen, upen, tiniron (ngeblat), benere kang diluru.
Batik Rifaiyah termasuk dalam kategori batik batin yang memfungsikan Batik sebagai thariqat, jalan, metode untuk mendekatkan diri kepada Allah.
Berdasarkan isyarat dari Rasulullah bahwa kehancuran peradaban ditentukan oleh dua hal hubbudunya (cinta dunia) dan wakarahiyatul maut (takut mati), maka peradaban membatik ala Rifa’iyah merupakan upaya mencintai Allah dan mendidik kebaikan diri pelakunya. Bisa tidak bisa pelaku membatik tulis Rifaiyah harus sabar, karena bisa jadi satu lembar kain kalau dibatik membutuhkan waktu berbulan-bulan. Dst.
D. Kelauarga Rifa’iyah Keluarga ideal untuk Manusia
Suatu hari seorang kandidat Doctor dari Universitas Indonesia (UI), Adlien Fadlia mengutarakan kesimpulannya setelah sekian lama meneliti keluarga Rifa’iyah, menurutnya bahwa cara berkeluarga ala Rifa’iyah merupakan jawaban terhadap tantangan jaman. Mengingat bahwa perceraian suami-istri akhir-akhir ini meningkat.
Berdasarkan buku data diuraikan bahwa Menurut laporan Statistik Indonesia, jumlah kasus perceraian di Indonesia mencapai 516.334 kasus pada 2022. Angka ini meningkat 15,31% dibandingkan 2021 yang mencapai 447.743 kasus.
Jumlah kasus perceraian di Tanah Air pada tahun lalu bahkan mencapai angka tertinggi dalam enam tahun terakhir.
Adapun mayoritas kasus perceraian di dalam negeri pada 2022 merupakan cerai gugat, alias perkara yang gugatan cerainya diajukan oleh pihak istri yang telah diputus oleh Pengadilan. Jumlahnya sebanyak 388.358 kasus atau 75,21% dari total kasus perceraian tanah air pada tahun lalu.
Dalam tradisi masyarakat Rifa’iyah, bagi kedua calon mempelai, beberapa bulan sebelum akad nikah terlebih dahulu untuk mempelajari ilmu munakahat dan ilmu berkeluarga. Biasanya mereka mencari seorang Kiai atau Ustadz untuk membimbing menerangkan kitab Tabyin al-Islah. Tujuannya adalah supaya mereka tahu tentang hak dan kewajiban masing-masing suami istri. Juga mengetahui resiko dari Nusyuz (durhaka).
Kemudian ada ketentuan apabila seorang istri bekerja untuk membatu istri ketentuannya dikerjakan di dalam rumah tangga. Aplikasi dari ajaran tersebut menghasilkan budaya batik Rifa’iyah bagi wanita. Dengan berprofesi di dalam rumah, maka seorang istri tidak menginggalkan kewajibannya melayani suami dan mengasuh anak.
Masih banyak kenikmatan anugerah Allah yang diberikan kepada orang dan masyarakat Rifa’iyah, yang apabila diungkap tak berkesudahan menjadi berbuku-buku. Maha Benar firman Allah
وَاِنْ تَعُدُّوْا نِعْمَةَ اللّٰهِ لَا تُحْصُوْهَا ۗاِنَّ اللّٰهَ لَغَفُوْرٌ رَّحِيْمٌ
“Dan jika kamu menghitung nikmat Allah, niscaya kamu tidak akan mampu menghitungnya. Sungguh, Allah benar-benar Maha Pengampun, Maha Penyayang.”
Semoga kita selalu bersyukur ditakdirkan oleh Allah Swt menjadi Orang Rifa’iyah`
Wallahu ‘alaam
Paesan, 17 Mei 2023
Ahmad Saifullah
0 comments:
Posting Komentar