*KAHIDAH 3*
_*Esuk Dele Sore Tempe*_
اَوْرَ تنْتُوْ وَوعْ سمْبَهْيَعْ اِيْكُوْ ودِيْ اِعْ فَعَيْرَانْ تِنمُوْ اَنَنَيْ وَوعْ صَلاَةْ كَوَيْ كدَيْ كَدُوْسَانْ
_∼tidak tentu orang shalat itu (berarti) takut kepada Tuhannya, kenyataannya (banyak) orang shalat (masih terus) berbuat dosa besar∼_
Manusia itu makhluk paling tidak tentu, maka jangan sampai kita memasti-mastikan sesuatu yang berkaitan dengan manusia. Manusia itu makhluk dinamis yang berdasarkan adagium Jawa: _isuk délé soré témpé_ Bisa jadi manusia pagi hari mengajari haramnya memakai sesuatu, sore harinya ia justru mempraktekkannya. Bisa jadi malam harinya _tadarus_ QS. al-Hujurat, pagi harinya _ngrasani_ tetangga. Bisa jadi seseorang menerangkan bahayanya takabur dengan cara takabur. Dalam istilah yang lebih ekstrim ala Rasulullah Saw: _Pagi Mukmin Sore Kafir_. Bisa jadi tahun ini jadi Bos, tahun berikutnya terbalik jadi karyawan. Maka nasihat Jawa selalu meweling: _ojo dumeh_ karena hidup ini mengikuti _cokro manggilingan_ kadang di bawah kadang di atas.
Perubahan manusia tentu karena secara sunatullah penciptaan alam semesta terus menerus terjadi dalam setiap seperdetiknya. Dan manusia merupakan bagian dari alam. Ketidakpastinnya juga merupakan keniscayaan karena itu merupakan alasan pembeda dengan khaliqnya yang bersifatan _baqa_ (tetap). Manusia sebagaimana alam semesta yang pasti fana.
Sejatinya manusia itu tidak ada, karena sejatinya ia diadakan. Kita ada disini, tetapi bisa jadi beberapa detik lagi sudah pindah entah kemana. Saya sekarang bukan saya yang satu jam kemudian, karena berapa sel yang sudah ‘mati’ dan digantikan dengan sel yang baru. Yang benar-benar ada Cuma Allah. Kalau mengutip istilah Mbah Rifa’i dunia sebagai _wenang owah-owah_ terus dipergilirkan siang malam, mati dan hidup.
Walaupun semua makhluk secara kejadian berpotensi _owah-owah_, tetapi dalam menjalani hidup dan tugasnya makhluk selain manusia mempunyai kepastian-kepastiannya. Diantaranya Iblis mempunyai kepastian ingkar kepada Tuhannya. Ia juga mempunyai kepastian tugas menyesatkan manusia sampai hari kiamat. Malaikat mempunyai kepastian _la ya’shunallaaha maa amarahum, wayaf’aluunaa maa yu’maruun_ (tidak mendurhakai perintah Allah, dan mengerjakan apa yang diperintahkan Allah). Hewan sudah pasti taat karena mereka langsung dalam ‘remotan hukum’ Allah. Kambing sangat taat pada kekambingannya, dengan makan dedaunan tertentu, tak mungkin kambing kepingin daging apalagi _pindang tetel_. Tapi seringkali manusia tidak taat kepada fitrahnya sebagai manusia. Ia selalu ingkar dengan _ngejlokke_ derajatnya sampai ke level binatang ternak, bahkan lebih hina. Ia menjadikan hawa nafsunya sebagai Tuhannya
أَرَأَيْتَ مَنِ اتَّخَذَ إِلَٰهَهُ هَوَاهُ أَفَأَنْتَ تَكُونُ عَلَيْهِ وَكِيلًا
_“Terangkanlah kepadaku tentang orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya. Maka apakah kamu dapat menjadi pemelihara atasnya?”_ (Al-Furqaan: 43).
Matahari sangat pasti taat karena ia terbit tak pernah terlambat, begitu pula ketika terbenam. Lebah begitu taat kepada Tuhannya menjalani tugas tiap pagi menyerbuki ribuan bunga hingga terjadi buah-buahan yang menjadi bahan makanan manusia. Alam semesta begitu sami’na waatha’nanya kepada Allah. Sedangkan manusia tak tentu. Kadang didepan kelihatannya taat, tapi dibelakang _mblunat_. Pepatah _srigala berbulu domba_ hanya bisa diperlakukan kepada manusia. Karena di dalam al-Qur’an yang disifati _munafiq_ hanya manusia, tidak jin, iblis, hewan, setan, dst. Jadi betapa susahnya sebenarnya menghadapi manusia, karena ia makhluk yang serba kemungkinan dan serba tidak bisa dipastikan.
Hewan bermasalah itu kalau lapar. Setelah dikasih makan, ia tenang bisa dengan cara tidur. Tetapi manusia ketika lapar, dikasih makan muncul masalah lagi tentang kurang enak makannya, kalau dikasih enak, kurang banyak. Setelah makan enak-banyak _keturutan_ masih bermasalah juga, cari suasana, tempat yang ‘pas’ dengan selera makan. Jadi manusia itu ‘lingkaran setan masalah’ yang tak berkesudahan, maka ia disebut sebagai makhluk dinamis. Ada orang yang mengatakan masalah manusia itu selesai setelah _mbujur ngalor-ngidul_, ternyata juga belum karena ia masih berhadapan dengan malaikat Munkar Nangkir.
Salah seorang paman saya bertanya, apakah di kalangan warga Rifa’iyah video dan gambar sudah dibahsul masailkan dalam musyawarah secara hukum? Dulu sering diharam-haramkan, kok tiba-tiba sekarang para kiai sangat akrab dengan video dan gambar? Itulah salah satu gambaran dinamika hukum yang berkaitan dengan manusia. Tidak bisa tidak hukum harus dinamis, karena ia menghukumi manusia. Maka selalu akan terbayang pertanyaan dalam benak kita “apakah hukum yang menyesuaikan perilaku manusia, atau manusia harus menyesuikan hukum?”
Yang nyata terjadi sekarang adalah hukum yang adaptif dalam setiap perkembangan dinamika manusia.
Manusia berbuat dan mengambil keputusan bukan atas dasar nilai hukum semata. Kebanyakan manusia bertindak juga berdasarkan kebutuhan dan keinginan. Kebutuhan kemudahan komunikasi yang melibatkan berbagai macam media dan aplikasi komunikasi. Sehingga apa yang enak, mudah, instan yang ditempuh manusia sekarang. Sehingga jangan kaget kalau yang dulu diantipatikan sekarang justru menjadi hiasan hidup sehari-hari. Sehingga respon ijtihad hukum tidak bisa tidak menyesuikan perilaku manusia.
Apakah itu yang sedang berlangsung disebut sebagai evolusi hukum, sebagaimana Syaikhul Akbar Muhyidin Ibnu Arabi (w. 638H/1240M) menengarai, pada awalnya hukum itu mengikuti kehendak Allah.
اختلفت الشرائع لإختلاف النسب الإلهية
_“perbedaan hukum mengikuti perbedaan kehendak Allah”_
Kemudian hukum berkembang menjadi:
إختلفت النسب لإختلاف الأحول
_”perbedaan kehendak hukum menyesuaikan perilaku (manusia)”_
إختلفت الأحوال لإختلاف الأزمان
_“Perbedaan perilaku (manusia) dipengaruhi keadaan zaman”_
إختلفت الأزمان لإختلاف الحركات
_”Perbedaan zaman terjadi karena perbedaan gerak”_
إختلفت الحركات لإختلاف التوجهات
_”Perbedaan gerak menyesuaikan bentuk”_
إختلفت التوجهات لإختلاف المقاصد
_”Perbedaan bentuk mengikuti tujuan-tujuannya”_
Bagaimanapun sekarang masyarakat *membentuk* dirinya itu tergantung pada *tujuannya*. Ketika masyarkat tidak bisa dilepaskan dari media social, maka tidak bisa tidak ia akan mengikuti algoritma medsos yang tujuan utamanya popularitas (dengan mengumpulkan like, subscribe, member, dengan cara share, shelfie dan narsis) karena dengan banyaknya subscribe, like, dan banyaknya ditonton tentu akan semakin menambah banyak penghasilan uang pemilik channel dan accountnya. Maka sekarang sangat lazim orang-orang di medsosnya bertingkah ‘gila’ demi mendapatkan penonton yang banyak. Bahkan sampai pada peremehan perintah Tuhan. Shalat dibuat lelucon-lelucon, yang penting menarik untuk ditonton.
Apakah kita tidak riskan dengan pernyataan firman Allah
اَفَحَسِبْتُمْ اَنَّمَا خَلَقْنٰكُمْ عَبَثًا وَّاَنَّكُمْ اِلَيْنَا لَا تُرْجَعُوْنَ
_“Maka apakah kamu mengira, bahwa Kami menciptakan kamu main-main (tanpa ada maksud) dan bahwa kamu tidak akan dikembalikan kepada Kami?”_
Atau dalam bahasa lain, apakah kita diciptakan Tuhan dengan maksud mencari ketenaran diri, dan pemuasan nafsu dan ambisi? Masih ingatkah janji kita
….أَلَسْتُ بِرَبِّكُمْ قَالُوا بَلَى شَهِدْنَا
_"Bukankah Aku ini Rabbmu?" Mereka menjawab: "Betul, kami bersaksi"._
Pekalongan, 29 Mei 2021
ahsa
0 comments:
Posting Komentar