Selasa, 27 Juli 2021

Harga Diri


 *KAIDAH HIDUP DARI MBAH RIFA’I (KAHIDAH 1)*


*HARGA DIRI*

سَبنْ2 اِعْكَعْ كدَيْ اَجِنَيْ اِيْكُوْ لُوِهْ بَعتْ كَجِتَا رُوْمكْسَانَيْ



_∼ setiap yang besar nilainya, maka lebih diperhatikan dalam menjaganya ∼_

Dalam kaidah hidup di atas, kata kuncinya adalah pada kata Aji yang berarti bernilai, berharga, atau terhormat, Sebagaimana dinyatakan S. Prawiroatmojo dalam Kamus _Bausastra Jawa Indonesia_. Misalnya ada orang yang mengatakan _“Duit sewu saiki wis ora ono ajine”_ berarti bisa jadi nilai tukar uang seribu sudah mengalami kemerosotan atau uang dengan nilai seribu sudah tidak berharga lagi. Artinya kalau dulu uang seribu bisa untuk pulang pergi Jakarta-Pekalongan, sekarang cukup untuk satu mendoan.

Kata dasar aji ini bisa mendapatkan beberapa imbuhan, yang akrab di telinga kita mendapatkan awalan _nga_ sehingga menjadi _ngaji_. Dalam bahasa Jawa kata imbuhan _nga_ bermakna menuju. Misalnya kata _ngawang_ berarti menuju awang-awang. _ngalas_ menuju alas, kalau _ngaji_ berarti orang yang sedang menuju kemuliaan, kehormatan, dan bernilai (mempunyai harga diri). Kalau orang yang rajin mengaji tetapi tak punya harga diri, maka patut dipertanyakan kemanfaatan _ngajinya_ sebagaimana orang yang STMJ (Shalat terus maksiat jalan) Seharusnya orang yang _ngaji_ ia lebih _kajen_ di masyarakat kalau ia mengamalkan apa yang dikajinya.

Di masyarakat selalu saja ada banyak hal yang dihargai juga ada yang tak dihargai. Emas dihargai sehingga ia disimpan ditempat yang khusus, terlindungi, sedangkan sampah tak dihargai sehingga harus dibuang. Dalam kajian ilmu sosiologi sesuatu yang dihargai di masyarakat akan berpengaruh bagi pemiliknya. Kalau masyarakat menghargai ilmu agama, maka tentu orang yang ahli ilmu itu lebih dihargai, ketimbang pemilik harta benda. Sebaliknya kalau masyarakat misalnya sedang ditimpa pandemi, maka kepercayaannya kepada dokter lebih tinggi dibandingkan dengan kepada kiai. Itulah yang disebut otoritas.

Manusia sebagai bagian dari masyarakat juga ada yang dihargai sebagaimana kiai, ulama, sesepuh, kepala suku, dan orang-orang yang mempunyai kebaikan akhlak. Tentu setiap masyarakat punya ukuran dan takaran sendiri-sendiri dalam menghargai orang. Di suku Badui dalam, orang-orang yang menghormati dan bisa menjaga kelestarian lingkungan lebih dihargai ketimbang orang yang mampu menjaga kebenaran wudlunya secara fikih. Berbeda di masyarakat lain yang lebih menghargai orang-orang yang pengetahuan fiqihnya banyak ketimbang mereka yang mampu menjaga kelestarian lingkungan.

Kaidah tersebut bisa secara nyata kita lihat misalnya kiai semakin sepuh, semakin mendapat perhatian, semakin dimintai doanya, semakin diperhatikan segala kebutuhannya, bahkan ia semakin terhormat untuk diperlakukan oleh masyarakat. Bisa kita membandingkan misalnya dengan pelacur yang semakin hari harganya semakin turun, tidak ada tarif pelacur semakin hari semakin naik tinggi. Ia diperkalukan berdasarkan kepuasan syahwat pemakainya, bukan berdasarkan kehormatannya. Bahkan pelacurnya sendiri tahu bahwa dirinya tidak berharga, sehingga merasa malu untuk tinggal di lingkungan masyarakatnya. Ia memilih menyingkir di lokasi-lokasi tertentu.

*Apa dan Siapa yang dihargai*

Berharga dan tidak berharga tentu setiap manusia, masyarakat punya ketentuannya sendiri-sendiri. Kalau kita merujuk kepada penghargaan menurut nilai budaya orang Jawa maka kita akan mengenal urutannya berupa _Sandang Pangan Papan_. Tiga kata ini tidak bisa dibalik penyebutannya, alias harus _tertib urut-urut_ karena tiga kata itu berkaitan dengan penghargaan orang Jawa terhadap sesuatu dan kebutuhan. Pertama yang dihargai orang Jawa adalah *Kehormatan* yang dibahasakan dengan kata _sandang_.

Sandang diartikan sebagai kehormatan, karena orang yang tidak memakai pakaian di ruang publik otomatis kehilangan harga dirinya dan kehormatannya. Misalnya saya memberikan tawaran, _”Mau tidak kamu saya kasih uang seratus juta, tapi kamu dari Kedungwuni ke Pekalongan berjalan tak berpakaian selembarpun?”_ Saya bisa memastikan kalau manusia _waras_ pasti menolaknya. Karena sandang berkaitan dengan kehormatan dirinya, harga dirinya. Orang tentu memilih lapar daripada kehormatannya jatuh.

Kehormatan muncul bukan dari penampilan, status sosial, kedudukan, dan berbagai macam materi kepemilikan, tetapi dari pancaran akhlak. Sebagaimana dulu Kanjeng Nabi Muhammad mempunyai modal menjadi orang terhormat karena kejujuran, sehingga masyarakatnya menyematinya sebagai _al Amin._ Juga ujian membuktikan ketika dikompetisikan siapapun yang bisa memasuki pintu masjidil haram pertama ia akan mendapat kehormatan hak memindahkan hajar aswad ke tempat semula, setelah lepas karena tertimpa banjir. Beliau juga membuktikan orang yang paling disiplin diantara mereka. Ia orang pertama yang memasuki pintunya, sehingga karena disiplin tersebut beliau mendapat kesempatan untuk merekatkan hubungan di antara suku-suku dengan cara memberikan kesempatan kepada setiap kepala suku untuk turut memindahkan hajar aswad. Dengan cara Junjungan kita Muhammad membentangkan sorban, kemudian hajar aswad diletakkan di tengah sorban, kemudian setiap kepala suku diberi kesempatan memegang sorban untuk turut mengangkat hajar aswad dan meletakkannya di tempat semula.

Dulu di masyarakat jawa ada semacam klasifikasi _brahmana, ksatria, waisya, sudra._ Klasifikasi sebenarnya tidak berkaitan dengan budaya feodal masyarakat Jawa. Justru berkaitan dengan cara orang Jawa dalam menghargai sesuatu. Orang yang didudukkan sebagai _brahmana_ (yang paling terhormat) oleh masyarakat Jawa adalah orang yang sudah terbebas dari dunia baik lahir maupun batinnya. Sering yang menduduki _maqom_ ini disebut sebagai _empu, wali, sunan, resi_ Sebagaimana kita menyimak sejarah para _empu_ yang tinggal justru di gua-gua, ia menyatu dengan alam dan _manembah_ dengan Gusti. Tetapi para empu ini yang justru dirujuk oleh para raja dan pangeran dalam menyelesaikan masalah hidup dan kenegaraan. Mereka para raja yang dalam klasifikasinya menempati derajat _ksatria_

Saya paham hal ini, ketika mengingat tentang sejarahnya Mbah Nur Moga, seorang wali yang manembah di lereng gunung Slamet yang menjadi rujukan masyarakat luas dalam menyelesaikan masalah-masalah hidup. Dari gambaran di atas kita menangkap bahwa dulu orang Jawa menghargai seseorang diukur bukan dari kepemilikan duniawiyah. Ia diburu karena dipercaya sebagai manusia yang dekat dengan Tuhannya yang hijab dunianya sudah terhempas. Otomatis orang-orang tersebut tingkat keimanannya tinggi. Merujuk kepada _apa yang paling dihargai_ sebagaimana Mbah Rifa’i _ngudar kaweruh_ adalah iman. Kata Beliau tidak bisa ditukar dengan _emas sak kebeke bumi_

Iman itu ruhani, sedangkan emas itu materi. Sehingga ruhani tidak bisa ditukar dengan materi. Maka segala sesuatu yang ruhani pasti lebih berharga ketimbang materi. Ilmu itu ruhani maka seberapapun uang tak bisa menggantikannya. Amal shalih itu ruhani, maka orang yang beramal karena tergantung pada besaran gajian maka ia tak pernah mengalami _ihsan_ karena ihsan itu beramal hanya untuk Allah.

Dan sejatinya orang, yang punya harga diri, adalah orang yang tak mau dihargai dengan jenis harga materi, dan nominal. _Nyungsepnya_ harga diri seseorang ketika sudah mau, bahkan kadang sengaja pasang tarif harga. Padahal manusia itu bukan hanya jasmani, tetapi ia merupakan pancaran _ruhnya_ Allah (ruhaniah). Kalau mau dibandroli ia layaknya barang-barang, perabot yang di jual di pasar-pasar. Rumus menjaga harga diri menurutku menghindari ‘logika pelacur’ yang berbunyi *asalkan ada yang mau bayar, apapun bisa dilakukan* maka sangat logis pernyataan Mbah Rifa’i

أَوْرَ نَنَا وَوعْ لُوِهْ هِنَا دَرَجَاةْ اَعِعْ وَوعْ بُوْرُوْ دُنْيَا بَعتْ حَاجَةْ
لُوبَا اِعْ اَرْتَ دَلَانَيْ مَعْصِيَةْ ظَاهِرْ بَاطِنْ لُوِهْ بَعتْ دِهِمَةْ
لَا لِيْ اِعْ الله كَعْ اَكَوَيْ سَرِيْرَنَيْ كَتُوعْكُولْ مَارِعْ دُنْيَا فَندْيَانَيْ

_tidak ada orang yang lebih hina derajatnya_
_daripada orang yang memburu dan benar-benar berhajat (kepada) dunia_
_tamak kepada harta (yang menjadi) jalannya maksiat_
_lahir batin benar-benar mencita-citakan (harta)_
_(hal itu mengakibatkan) lupa kepada Allah pencipta dirinya_
_kecenderungannya tunduk kepada dunia_

Pekalongan, 23 Mei 2021
ahsa

0 comments:

Posting Komentar