Jumat, 08 Oktober 2021

TEMBANG

 KAHIDAH 14


*TEMBANG*


تَنْبِيْهٌ تمْبَعْ جَوِ للَا كُونْ رَغَبَنْ    كِنَوَىْ عَعْكَةْ اِعْ عِلْمُ شَرَعْ كَلُوْهُوْرَنْ

عُرِيفْ اُرِيفْ اِعْ اَكَمَانَىْ نَبِىْ اُتُوْسَنْ    اِيْكُوْ دَادِىْ حَاصِلْ فَعَوَرُهِىْ كَجُوْكُوْفَانْ 

يَتَا مَنْفَعَةْ للَاكُونْ جَاوِىْ تمْبَاعْ     نُولُوْعِيْ اِعْ طَاعَةْ مَارِعْ الله كَوِيْلَاعْ


_”Perlu diketahui, bahwa tembang Jawa dianggap perlu untuk mengangkat martabat ilmu syariat”_


_”Melestarikan agama Nabi dan Rasul, sehingga cukup membawa hasil untuk memberi penerangan”_


_”Nyata bermanfaat tembang Jawa, termasuk sebagai instrumen penolong untuk taat kepada Allah”_ (Tanbih KH. Ahmad Rifa’i)


Tembang dalam Wikepedia diartikan sebagai kumpulan sajak/lirik yang berirama dan bernada. Kitab KH. Ahmad Rifa’I sebagian besar merupakan syair yang sangat indah apabila didendangkan layaknya tembang. Masyarakat Rifa’iyah sangat akrab dengan tradisi tembang, lagu. Dalam setiap jelang shalat berjamaah, mengawali majlis ta’lim di mushola dan masjid, biasa kita dengar lantunan syiiran, pujian, sebagai _pepiling_ bagi pendengarnya.  Lirik tembang bisa berupa nasihat, _pepiling_ memuji kepada Allah dan Rasulullah, juga bisa bermuatan ilmu.


Kata-kata nasihat baik _(mauidhah hasanah)_ yang disampaikan dengan cara yang buruk kecenderungannya akan ditolak, karena naluri manusia selalu menolak untuk digurui dan dinasehati secara langsung. Digurui dan dinasehati terasa berat, karena secara rasa orang yang dinasehati berposisi layaknya _kawula_ dihadapan penasihat  _gusti_. Maka tembang, lagu merupakan salah satu metode menasehati orang dengan cara _soft._ 


Tembang meresap ke dalam hati karena tidak menggurui. Ia terngiang dalam ingatan karena aura keindahannya. Syair, irama dan nada merupakan keindahan bunyi dan makna yang sering tanpa disadari meresap dalam lubuk hati manusia. Entah menggungah semangat atau justru membuat mata berlinang, setelah mendengarnya. 


Banyak orang tergugah hatinya selepas mendengar lagu. Banyak pula mereka bertaubat karena resapan alunan tembang yang menyadarkan. Tembang sebagai metode _tabligh_ tak lekan oleh panas zaman. Sejak zaman arab barbar hingga era digital _sumebar_ tembang merupakan metode penyampai yang dirasa paling ampuh meraih hati. Bahkan akhir-akhir ini tembang dinyatakan sebagai metode hafalan tanpa menghafal. Anda cukup sering melagukan bait nadzam _aqidatul awwam_ tanpa terasa anda tiba-tiba menghafal syair itu. Yang kita lakukan hanyalah nembang, tapi hadiahnya adalah hafal lirik, syiir, dan sajak.

 

Dulu Walisongo menitipkan pesan agama melalui tembang anak-anak. Misalnya intisari hadis Nabi tentang setiap manusia merupakan pemimpin bagi dirinya, keluarganya, masyarakatnya, yang pasti manusia akan mempertanggungjawabkan mengenai kepemimpinannya itu. Digubahlah tembang _”Gundul-gundul Pacul Gembelengan”_


_Gundul gundul pacul cul gelelengan_

_Nyunggi nyunggi wakul kul gembelengan_

_Wakul ngglimpang segane dadi sak rattan_

_Wakul ngglimpang segane dadi sak rattan_


Dalam tembang itu digambarkan bagaimana setiap manusia mempunyai “Wakul Tanggungjawab”. Tanggungjawab itu harus benar-benar ditunaikan dan dijaga. Kalau teledor tentu amanah wakul itu akan _glimpang_  sehingga tanggungjawab tidak hasil maksud, tapi malah tumpah ruah yang menikmati justru yang tidak berhak. Dalam lirik tembang itu disebut sebagai _”Wakul glimpang segane dadi sak latar.


Bagi saya tembang merupakan music. Karena music itu komposisi bunyi, irama, dan nada yang diaransir. Bahkan alam ini mustahil kalau tak musical.


Pekalongan, 8 September 2021

AHSA