Rabu, 28 Juli 2021

KAIDAH KE II DARI MBAH RIFA'I (PROPORSIONAL)

 *KAHIDAH 2*


*PROPORSIONAL*

فَرْتَيْلَا اَرْتَ كنِيْ بَايُوْ اِيْكُوْ مُنْفَعَةْ نَلِيْكَا كَبنرَانْ فَتْرَفَيْ دِحَاجَةْ

_∼ telah jelas bahwa harta, api, air itu bermanfaat, ketika benar (cara memperlakukannya, penggunaannya) sesuai kebutuhan∼_
Manusia hidup di dunia tidak bisa dilepaskan dari kebutuhan-kebutuhan. Menurut Pakar Psikologi Humanis Abraham Maslow, bahwa kebutuhan manusia meliputi kebutuhan dasar, sebagaimana makan minum dan berkembang biak. Kebutuhan untuk berprestasi, termasuk mempunyai karya-karya. Kebutuhan mendapatkan kasih sayang, dan kebutuhan spiritual. Pada awalnya Maslow mempunyai kesimpulan bahwa kebutuhan makan minumlah yang menjadi prioritas, tetapi _qaul jadidnya_ Maslow mengatakan bahwa kebutuhan spirituallah yang mendahului sebelum kebutuhan dasar.

Apakah seorang bayi hanya berkebutuhan makan minum, mendapatkan kasih sayang dari orang tuanya? Ataukah ia sudah berkebutuhan spiritual, atau kebutuhan berhubungan dengan Tuhannya? Menurut kaca mata _wadag_ mungkin kita akan menjawab belum saatnya. Tetapi bagaimana bayi tidak berhubungan dengan Tuhannya, sedangkan dari awal ia diadakan oleh Tuhannya. Ia ada bukan atas dasar kemauannya sendiri, tapi kehendak Tuhan. Bagaimana mungkin ia tidak berkebutuhan dalam petunjuk Tuhannya sedangkan menyusu saja secara otodidak dapat hidayah dari Allah. Andaikan bayi tidak mendapatkan hidayah, maka ia tentu tidak mengeyut puting, tapi meniupnya. Pernahkah orang tua mengajari? Bagaimana cara bayi menyusu?

Berikutnya nanti kemampuan-kemampuan bayi yang orang tuanya sedikit sekali berperan dalam mendidiknya. Misalnya dalam berbicara, apakah orang tua berjasa mengajarinya sehingga bayi berkembang menjadi mampu berbicara. Kalau itu mutlak jasa orang tuanya, kenapa diantara beberapa bayi mengalami bisu? Atau beberapa diantaranya mengalami sulit ngomong _(gagu)_, ada juga yang _celat_.

Peran manusia dalam hidup dan kehidupannya sangat-sangat amat sedikit sekali, maka tidak bisa tidak kalau kita tidak berhubungan dengan Dzat Yang Mencipta dan Yang Mengadakan. Dan pada akhirnya itulah yang kita sebut sebagai kebutuhan spiritual. Maka berhubungan dengan Tuhan merupakan dasar dari kebutuhan manusia, melebihi kebutuhan makan dan minum. Buktinya shalat lima kali dalam sehari sedangkan makan cukup dua atau tiga kali.

Misalnya manusia mengandalkan dirinya sendiri, dengan ilmunya, maka seberapa bisa diandalkan pengetahuan manusia itu? Sedangkan yang terdekat dari penglihatannya saja manusia tidak mengetahuinya. Coba tanyakan kepada manusia berapakah jumlah bulu mata? _Haqul Yaqin_ tidak ada yang tahu. Apalagi nanti merambah ke bagian-bagian tubuh lainnya. Apakah mereka mampu menyangga hidupnya seorang diri tanpa Tuhannya? sedangkan potensi dan modal manusia menjadi khalifah cuma dua: amat sangat bodoh, dan amat sangat dholim.

إِنَّا عَرَضْنَا الْأَمانَةَ عَلَى السَّماواتِ وَالْأَرْضِ وَالْجِبالِ فَأَبَيْنَ أَنْ يَحْمِلْنَها وَأَشْفَقْنَ مِنْها وَحَمَلَهَا الْإِنْسانُ إِنَّهُ كانَ ظَلُوماً جَهُولاً

_“Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi, dan gunung-gunung, maka mereka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh“._ (QS. Al Ahzab: 72).

Bahkan kepada dirinya sendiri saja, tiap menitnya manusia mendhalimi. Suatu saat saya bertanya di kelas kepada siswi-siswi, siapa saja yang menyukai makanan pedas? Beberapa diantaranya _ngacung,_ ternyata banyak. Biasanya apa yang dimakan? Mereka jawab seblak, geprek, dll. Saya teruskan pertanyaan, _”ketika kalian makan makanan pedas itu, organ tubuh mana yang dimintai pertimbangan? Apakah lambung, usus, dipertimbangkan ketika kita memakan makanan _hot_? Mereka menggelengkan kepala.

Kalau kita amati lebih luas, dengan melihat naiknya jumlah pasien penderita usus buntu, diabetes milletus kita mempunyai gambaran bahwa kebanyakan manusia ketika makan makanan kesukaan yang menjadi pertimbangan utama nafsunya, bukan, tenggorokannya, ususnya, lambungnya, bahkan bukan juga perutnya. Maka dulu kalau di pesantren orang yang suka makan disebut _abdul buthun_ (hamba perut), bagi saya kurang pas, karena sebenarnya perut tidak berselera menentukan makanan, ia hanya pengirim sinyal lapar, obyek penerima dan pengolah.

Kalau kita bertanya kepada diri sendiri, kira-kira apa yang biasanya menjadi pertimbangan seseorang untuk memutuskan makan di warung makan tertentu? Pertimbangannya pasti bukan makanannya sehat atau tidak, tetapi enak atau tidak. Dari sana kita bisa bertanya lagi, apakah akal dimitai pertimbangan, dalam mengambil keputusan memilih apa yang kita makan? Bahkan akal sebagai pembeda antar manusia dengan makhluk lainnyapun tak pernah dipertimbangkan.

*Betapa menderitanya akal, hidup melekat bersama manusia yang tak pernah mempertimbangkannya, padahal Beliaulah yang menandai apakah makhluk itu disebut sebagai manusia atau hewan*

Juga dibuktikan bahwa di masyarakat indonesia, tidak pernah menggunakan akal dengan baik dan benar. Kita tidak menemukan kata kerja dari akal, selain bermakna konotatif terhadap kelicikan. Kadang kita mendengar kata-kata peringatan dari orang tua kepada anaknya, _”le ojo dolan karo bocah kae, mengko kowe diakali”_ Diakali bermakna diliciki, dibohongi. Juga ketika kita membuka mushaf al-Qur’an terjemahan bahasa Indonesia. Lafadz _Ta’qilun_ dan _Tafakarun_ diartikan sama. Karena memang kata kerjanya akal yang berkonotasi baik tidak ditemukan dalam sejarah peradaban manusia Indonesia.

*Kebutuhan atau Keinginan*

Allah menciptakan Api yang menurut mbah Rifa’i mempunyai perilaku membakar sehingga _nggosongi_ juga air yang menurut al-Qur’an sebagai perantara kehidupan alam semesta. Bahkan harta untuk manusia belanjakan, semuanya harus diperlakukan sesuai patrapnya (proporsinya) berdasarkan kebutuhan _(dihajat)_ dan ukuran penggunaannya, bukan berdasarkan keinginan dan nafsunya.

Jadi kalau kita memperlakukan air, api, dan harta sesuai patrapnya, maka harta, api dan air itu akan bermanfaat. Sebaliknya kalau diperlakukan tidak sesuai kadar kebutuhan manusia, tetapi berdasarkan keinginannya maka yang terjadi adalah mubadzir, kerusakan dan krisis.

Api yang dikelola melalui mekanisme kerja busi dalam motor bisa menjadi energi penggerak roda, sehingga bisa mengantarkan manusia ke mana saja. Air yang dikelola melalu teknologi irigasi akan bermanfaat bagi kelestarian pangan manusia. Tetapi seringkali manusia lalai memperlakukan keduanya, sehingga jamak terjadi kebakaran dan banjir. Dasar nilai utama dalam pengelolaan adalah memakai dasar kebutuhan bukan keinginan.

*Tanda dari keinginan dan nafsu itu selalu ingin nambah terus, sebagaimana orang minum air asin. Semakin tambah minumnya akan semakin merasa kehausan. Sebagaimana anak kecil yang menyusu, kalau tidak _disapih_ maka sampai kapanpun ia akan terus _nyusu_.

Yang membedakan antara kebutuhan dan nafsu adalah ketika kebutuhan dicukupi maka seseorang akan merasa lega dan cukup. Sebaliknya Nafsu semakin tercapai akan semakin kurang, dan pingin nambah terus-menerus. Kita bisa sangat gamblang menyaksikan kerusakan alam yang berlangsung sangat cepat setelah revolusi industri. Dengan adanya penemuan mesin-mesin industri, sehingga produksi dijalankan bukan berdasarkan kebutuhan lagi, tetapi berdasarkan keinginan menumpul laba material, sehingga efeknya pada kerusakan lingkungan.

*Nafsu manusia selalu bertentangan dengan kenyataan. Sedangkan kebutuhan tidak bertentangan.* Nafsu manusia selalu ingin tampil muda, sehingga uban seringkali disemir, dan dihilangkan. Sedangkan kenyataannya tidak bisa dihindari uban akan semakin bertambah seiring bertambahnya usia. Kenyataannya wanita-wanita modern ingin tampak awet muda dengan meyakini _tahayul-tahayul_ iklan produk kecantikan serta rutin mengunjungi klinik-klinik _scin care_ dan selalu memamah biak produk-produk kecantikan. Tapi perempuan tak bisa mengelak bahwa tua, keriput itu keniscayaan yang pasti datang.

Kebutuhan dalam menggunakan harta juga ditandai dengan kadar (ukuran). Mbah Rifa’i membahasakan dengan _seqodar hajat kanggo tulung thoat_. Hal ini bisa dipahami dengan merujuk kepada ayat berikut:

اِنَّا كُلَّ شَيْءٍ خَلَقْنٰهُ بِقَدَرٍ
_”Sungguh, Kami menciptakan segala sesuatu berdasarkan kadarnya (ukuran).”_

_Seqodar hajat_ itu maksudnya bahwa kebutuhan itu mempunyai ukuran (kadar), berbeda dengan nafsu keinginan yang selalu menerobos ukuran.

Memetik ayat di atas menerangkan bahwa secara sunatullah Allah menciptakan segala sesuatu itu berdasarkan ukuran yang telah diciptakanNya. Kalau kita mematuhi ukuran-ukuran itu, maka kita akan mencapai keseimbangan. Misalnya makan dan minum dalam al-Qur’an ditentukan berdasarkan ukuran:

وَكُلُوا وَٱشْرَبُوا وَلَا تُسْرِفُوا إِنَّهُۥ لَا يُحِبُّ ٱلْمُسْرِفِينَ

_”… makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan.”_

Supaya manusia tidak berlebih-lebihan makan dan minum, Rasulullah memberikan pedoman: _“makan setelah lapar, berhenti sebelum kenyang”_.

Jadi untuk mengetahui apakah manusia berorientasi kepada kebutuhan atau keinginan. Pertama, kebutuhan itu merasa cukup setelah dipenuhi, kalau keinginan merasa kurang setelah dipenuhi. Kedua, Kebutuhan itu punya ukurannya, punya kadarnya. Sedangkan keinginan tidak terukur, walaupun nanti sunatullah yang membatasinya. Kalau dalam bahasa dokter memberikan obat pasti memakai ukuran berupa resep. Kalau pedagang berjualan kain pakai ukuran meteran, pedagang sembako memakai timbangan.

Kalau kita membandingkan dengan makhluk lain, kita akan punya kesimpulan bahwa potensi manusia selalu melanggar ukuran, takaran hidup. Misalnya kita lihat dari _maqom_ konsumsi makhluk. Manusia disebut sebagai makhluk _omnivora_ (pemakan segalanya), sehingga ia melampaui makhluk apapun dalam hal mengkonsumsi. logikanya dimana kalau manusia lebih mulia dibandingkan dengan kambing? Sedangkan kambing saja makan dedaunan tertentu, tidak sembarangan misalnya _godong nongko_ rumput. Dan daun pelem, pepaya, sirkaya sudah tidak mau.

وَلَقَدْ ذَرَأْنَا لِجَهَنَّمَ كَثِيرًا مِنَ الْجِنِّ وَالْإِنْسِ لَهُمْ قُلُوبٌ لَا يَفْقَهُونَ بِهَا وَلَهُمْ أَعْيُنٌ لَا يُبْصِرُونَ بِهَا وَلَهُمْ آَذَانٌ لَا يَسْمَعُونَ بِهَا أُولَئِكَ كَالْأَنْعَامِ بَلْ هُمْ أَضَلُّ أُولَئِكَ هُمُ الْغَافِلُونَ

_“Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk (isi neraka Jahannam) kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai akal/hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu layaknya binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai”._ (QS. Al A’rof [7] : 179)

Pekalongan, 26 Mei 2021
ahsa

Selasa, 27 Juli 2021

Harga Diri


 *KAIDAH HIDUP DARI MBAH RIFA’I (KAHIDAH 1)*


*HARGA DIRI*

سَبنْ2 اِعْكَعْ كدَيْ اَجِنَيْ اِيْكُوْ لُوِهْ بَعتْ كَجِتَا رُوْمكْسَانَيْ



_∼ setiap yang besar nilainya, maka lebih diperhatikan dalam menjaganya ∼_

Dalam kaidah hidup di atas, kata kuncinya adalah pada kata Aji yang berarti bernilai, berharga, atau terhormat, Sebagaimana dinyatakan S. Prawiroatmojo dalam Kamus _Bausastra Jawa Indonesia_. Misalnya ada orang yang mengatakan _“Duit sewu saiki wis ora ono ajine”_ berarti bisa jadi nilai tukar uang seribu sudah mengalami kemerosotan atau uang dengan nilai seribu sudah tidak berharga lagi. Artinya kalau dulu uang seribu bisa untuk pulang pergi Jakarta-Pekalongan, sekarang cukup untuk satu mendoan.

Kata dasar aji ini bisa mendapatkan beberapa imbuhan, yang akrab di telinga kita mendapatkan awalan _nga_ sehingga menjadi _ngaji_. Dalam bahasa Jawa kata imbuhan _nga_ bermakna menuju. Misalnya kata _ngawang_ berarti menuju awang-awang. _ngalas_ menuju alas, kalau _ngaji_ berarti orang yang sedang menuju kemuliaan, kehormatan, dan bernilai (mempunyai harga diri). Kalau orang yang rajin mengaji tetapi tak punya harga diri, maka patut dipertanyakan kemanfaatan _ngajinya_ sebagaimana orang yang STMJ (Shalat terus maksiat jalan) Seharusnya orang yang _ngaji_ ia lebih _kajen_ di masyarakat kalau ia mengamalkan apa yang dikajinya.

Di masyarakat selalu saja ada banyak hal yang dihargai juga ada yang tak dihargai. Emas dihargai sehingga ia disimpan ditempat yang khusus, terlindungi, sedangkan sampah tak dihargai sehingga harus dibuang. Dalam kajian ilmu sosiologi sesuatu yang dihargai di masyarakat akan berpengaruh bagi pemiliknya. Kalau masyarakat menghargai ilmu agama, maka tentu orang yang ahli ilmu itu lebih dihargai, ketimbang pemilik harta benda. Sebaliknya kalau masyarakat misalnya sedang ditimpa pandemi, maka kepercayaannya kepada dokter lebih tinggi dibandingkan dengan kepada kiai. Itulah yang disebut otoritas.

Manusia sebagai bagian dari masyarakat juga ada yang dihargai sebagaimana kiai, ulama, sesepuh, kepala suku, dan orang-orang yang mempunyai kebaikan akhlak. Tentu setiap masyarakat punya ukuran dan takaran sendiri-sendiri dalam menghargai orang. Di suku Badui dalam, orang-orang yang menghormati dan bisa menjaga kelestarian lingkungan lebih dihargai ketimbang orang yang mampu menjaga kebenaran wudlunya secara fikih. Berbeda di masyarakat lain yang lebih menghargai orang-orang yang pengetahuan fiqihnya banyak ketimbang mereka yang mampu menjaga kelestarian lingkungan.

Kaidah tersebut bisa secara nyata kita lihat misalnya kiai semakin sepuh, semakin mendapat perhatian, semakin dimintai doanya, semakin diperhatikan segala kebutuhannya, bahkan ia semakin terhormat untuk diperlakukan oleh masyarakat. Bisa kita membandingkan misalnya dengan pelacur yang semakin hari harganya semakin turun, tidak ada tarif pelacur semakin hari semakin naik tinggi. Ia diperkalukan berdasarkan kepuasan syahwat pemakainya, bukan berdasarkan kehormatannya. Bahkan pelacurnya sendiri tahu bahwa dirinya tidak berharga, sehingga merasa malu untuk tinggal di lingkungan masyarakatnya. Ia memilih menyingkir di lokasi-lokasi tertentu.

*Apa dan Siapa yang dihargai*

Berharga dan tidak berharga tentu setiap manusia, masyarakat punya ketentuannya sendiri-sendiri. Kalau kita merujuk kepada penghargaan menurut nilai budaya orang Jawa maka kita akan mengenal urutannya berupa _Sandang Pangan Papan_. Tiga kata ini tidak bisa dibalik penyebutannya, alias harus _tertib urut-urut_ karena tiga kata itu berkaitan dengan penghargaan orang Jawa terhadap sesuatu dan kebutuhan. Pertama yang dihargai orang Jawa adalah *Kehormatan* yang dibahasakan dengan kata _sandang_.

Sandang diartikan sebagai kehormatan, karena orang yang tidak memakai pakaian di ruang publik otomatis kehilangan harga dirinya dan kehormatannya. Misalnya saya memberikan tawaran, _”Mau tidak kamu saya kasih uang seratus juta, tapi kamu dari Kedungwuni ke Pekalongan berjalan tak berpakaian selembarpun?”_ Saya bisa memastikan kalau manusia _waras_ pasti menolaknya. Karena sandang berkaitan dengan kehormatan dirinya, harga dirinya. Orang tentu memilih lapar daripada kehormatannya jatuh.

Kehormatan muncul bukan dari penampilan, status sosial, kedudukan, dan berbagai macam materi kepemilikan, tetapi dari pancaran akhlak. Sebagaimana dulu Kanjeng Nabi Muhammad mempunyai modal menjadi orang terhormat karena kejujuran, sehingga masyarakatnya menyematinya sebagai _al Amin._ Juga ujian membuktikan ketika dikompetisikan siapapun yang bisa memasuki pintu masjidil haram pertama ia akan mendapat kehormatan hak memindahkan hajar aswad ke tempat semula, setelah lepas karena tertimpa banjir. Beliau juga membuktikan orang yang paling disiplin diantara mereka. Ia orang pertama yang memasuki pintunya, sehingga karena disiplin tersebut beliau mendapat kesempatan untuk merekatkan hubungan di antara suku-suku dengan cara memberikan kesempatan kepada setiap kepala suku untuk turut memindahkan hajar aswad. Dengan cara Junjungan kita Muhammad membentangkan sorban, kemudian hajar aswad diletakkan di tengah sorban, kemudian setiap kepala suku diberi kesempatan memegang sorban untuk turut mengangkat hajar aswad dan meletakkannya di tempat semula.

Dulu di masyarakat jawa ada semacam klasifikasi _brahmana, ksatria, waisya, sudra._ Klasifikasi sebenarnya tidak berkaitan dengan budaya feodal masyarakat Jawa. Justru berkaitan dengan cara orang Jawa dalam menghargai sesuatu. Orang yang didudukkan sebagai _brahmana_ (yang paling terhormat) oleh masyarakat Jawa adalah orang yang sudah terbebas dari dunia baik lahir maupun batinnya. Sering yang menduduki _maqom_ ini disebut sebagai _empu, wali, sunan, resi_ Sebagaimana kita menyimak sejarah para _empu_ yang tinggal justru di gua-gua, ia menyatu dengan alam dan _manembah_ dengan Gusti. Tetapi para empu ini yang justru dirujuk oleh para raja dan pangeran dalam menyelesaikan masalah hidup dan kenegaraan. Mereka para raja yang dalam klasifikasinya menempati derajat _ksatria_

Saya paham hal ini, ketika mengingat tentang sejarahnya Mbah Nur Moga, seorang wali yang manembah di lereng gunung Slamet yang menjadi rujukan masyarakat luas dalam menyelesaikan masalah-masalah hidup. Dari gambaran di atas kita menangkap bahwa dulu orang Jawa menghargai seseorang diukur bukan dari kepemilikan duniawiyah. Ia diburu karena dipercaya sebagai manusia yang dekat dengan Tuhannya yang hijab dunianya sudah terhempas. Otomatis orang-orang tersebut tingkat keimanannya tinggi. Merujuk kepada _apa yang paling dihargai_ sebagaimana Mbah Rifa’i _ngudar kaweruh_ adalah iman. Kata Beliau tidak bisa ditukar dengan _emas sak kebeke bumi_

Iman itu ruhani, sedangkan emas itu materi. Sehingga ruhani tidak bisa ditukar dengan materi. Maka segala sesuatu yang ruhani pasti lebih berharga ketimbang materi. Ilmu itu ruhani maka seberapapun uang tak bisa menggantikannya. Amal shalih itu ruhani, maka orang yang beramal karena tergantung pada besaran gajian maka ia tak pernah mengalami _ihsan_ karena ihsan itu beramal hanya untuk Allah.

Dan sejatinya orang, yang punya harga diri, adalah orang yang tak mau dihargai dengan jenis harga materi, dan nominal. _Nyungsepnya_ harga diri seseorang ketika sudah mau, bahkan kadang sengaja pasang tarif harga. Padahal manusia itu bukan hanya jasmani, tetapi ia merupakan pancaran _ruhnya_ Allah (ruhaniah). Kalau mau dibandroli ia layaknya barang-barang, perabot yang di jual di pasar-pasar. Rumus menjaga harga diri menurutku menghindari ‘logika pelacur’ yang berbunyi *asalkan ada yang mau bayar, apapun bisa dilakukan* maka sangat logis pernyataan Mbah Rifa’i

أَوْرَ نَنَا وَوعْ لُوِهْ هِنَا دَرَجَاةْ اَعِعْ وَوعْ بُوْرُوْ دُنْيَا بَعتْ حَاجَةْ
لُوبَا اِعْ اَرْتَ دَلَانَيْ مَعْصِيَةْ ظَاهِرْ بَاطِنْ لُوِهْ بَعتْ دِهِمَةْ
لَا لِيْ اِعْ الله كَعْ اَكَوَيْ سَرِيْرَنَيْ كَتُوعْكُولْ مَارِعْ دُنْيَا فَندْيَانَيْ

_tidak ada orang yang lebih hina derajatnya_
_daripada orang yang memburu dan benar-benar berhajat (kepada) dunia_
_tamak kepada harta (yang menjadi) jalannya maksiat_
_lahir batin benar-benar mencita-citakan (harta)_
_(hal itu mengakibatkan) lupa kepada Allah pencipta dirinya_
_kecenderungannya tunduk kepada dunia_

Pekalongan, 23 Mei 2021
ahsa